MEMBENTUK KELUARGA ASMARA

OLEH : MOH. ISNAINI YULAD
Dalam kehidupan di dunia, manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia memerlukan orang lain yang dapat membantu memberi ketenangan dalam hidupnya. Ia memerlukan pasangan hidup untuk berumah tangga. 
Rumah tangga yang ideal adalah terwujudnya keluarga yang “asmara”. Yakni kehidupan keluarga yang ditopang oleh cinta kasih, rahmah dan amanah, sehingga melahirkan keharmonisan antar individu dalam keluarga, antar keluarga dengan tetangga dan antar keluarga dengan masyarakat.
Dalam kenyataan hidup di masyarakat, banyak dijumpai problematika keluarga, seperti terjadinya percekcokan, penyelewengan, penderitaan batin, serta problematika lainnya. Akibatnya banyak terjadi perceraian dan perpecahan dalam rumah tangga. Tentunya hal ini tidak kita inginkan terjadi dalam keluarga kita .

Agar cita-cita membentuk keluarga “asmara“ (as-sakinah mawaddah warahmah) bisa terwujud , diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal tersebut. Usaha itu terbagi menjadi dua, saat pranikah dan setelah nikah/pascanikah .


Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum nikah sangat menentukan terbentuk tidaknya keluarga “asmara“ di kemudian hari. Beberapa persiapan yang perlu dilakukan sebelum menikah adalah :

1. Mendidik diri dengan keimanan dan takwa .
Orang yang beriman dan bertakwa (orang baik), sebagaimana janji Allah, ia akan dipertemukan/dijodohkan dengan orang baik pula, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman dalam Alquran surat An – Nuur ;24 : 26 .


الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ 
لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Artinya : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)“.


2. Mencari pasangan yang beragama/seiman .
Rasulullah Saw. Bersabda :


“Wanita itu dinikahi karena empat macam, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim) 



3. Matang secara fisik dan psikis .
Dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1, perkawinan baru dijinkan apabila calon pengantin pria berusia 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Sedangkan menurut kesehatan usia yang baik melangsungkan perkawiann adalah 25 tahun bagi pria dan 20 tahun bagi wanita. Kedua pengelompokan umur tersebut ditetapkan agar calon pengantin mempunyai kesiapan baik secara pisik maupun psikis . 

4. Sekufu (seimbang/serasi) .

Perbedaan yang mencolok antara calon pengantin (tidak sekufu) dalam segi usia, pendidikan, ekonomi dan lain-lain , tidak jarang menyebabkan konflik yang berkepanjangan dalam membina keluarga “asmara” . Untuk itu faktor sekufu perlu dipertimbangkan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

Adapun hal-hal yang perlu dilakuakan setelah pernikahan guna membentuk keluarga “asmara” adalah sebagai berikut : 

1. Saling mencintai .
Seperti halnya iman, rasa cinta bisa naik bisa turun, tergantung seberapa kuat kita berusaha mewujudkannya. Di antara cara agar rasa cinta dalam keluarga tetap membara, yaitu :

a. Berusaha tampil menarik di hadapan pasangan .
b. Memanggil dengan panggilan hormat dan panggilan kesayangan .
c. Mengucapkan kata-kata yang baik, jujur dan sopan .
d. Menjaga kebersihan .
e. Menjaga kesehatan .

Bila kelima hal tersebut dilaksanakan, Insya Allah rasa cinta antar pasangan bisa ditingkatkan dari hari ke hari .

2. Saling membantu .
Tidak ada pekerjaan yang terbengkalai asalkan kita kerja kompak dengan pasangan kita. Ingat pepatah, ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Meskipun ada pembagian kerja, hendaknya pembagian kerja itu tidak diatur terlalu kaku, tapi harus fleksibel. Artinya bila suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawab istri tidak bisa dijalankan dengan alasan sakit, maka si suami hendaknya rela membantu mengerjakannya. Di samping itu harus ada pembagian kerja yang jelas dan adil, tidak ada monopoli atau pembagian kerja yang berat sebelah .

3. Saling bermusyawarah .
Kata musyawarah dengan segala perubahannya dalam Alquran disebut sebanyak 3 kali . Pertama merupakan perintah kepada Nabi Muhammad Saw. agar tetap bermusyawarah (QS. Ali Imran; 3:159 ). Kedua pujian kepada orang –orang mukmin yang selalu memusyawarahkan urusan mereka ( Asy-Syura; 42:38 ). Dan ketiga menyangkut musyawarah antara suami-istri (QS.Al-Baqarah; 2:233).
Musyawarah dilakukan bukan untuk mencari kemenangan, tetapi untuk mencari keputusan yang terbaik. Saat bermusyawarah suami-istri perlu mengetahui secara benar kebutuhan dirinya serta memiliki ketrampilan dalam menyampaikan pandangannya/pendapatnya. Terkadang kekeliruan dalam menyampaikan pandangan, kebutuhan atau keinginan, menjadikan pasangannya menduga sesuatu yang lain, sehingga menolak apa yang seharusnya dapat diterima.
Masing-masing pihak juga harus dapat mendengar secara baik maksud yang disampaikan oleh pasangannya, sehingga tidak keburu memberikan penilaian buruk terhadap gagasan yang didengarnya. Setelah musyawarah ditempuh, barulah bersama-sama mencari penyeselesaian terbaik, didasarkan pada saling pengertian, tidak menuntut untuk menang sendiri, dan tidak pula harus terus menerima dan mengalah .

4. Saling komunikasi .
Komunikasi memegang peranan penting bagi terbentukanya keluarga “asmara”. Proses ini harus berjalan terus sepanjang umur pernikahan. Kenapa ini harus dilakukan ? Karena setiap orang dilahirkan dalam keadaan berbeda, -tak terkecuali suami-istri -, dan dibesarkan dalam lingkungan tak sama. Setiap suami-istri mempunyai watak, watuk, wahing, karakter, pola pikir, pembawaan, sifat, dan kebiasaan yang berbeda. Perbedaan ini, apabila tidak dikomunikasikan antar suami-istri, maka tidak menutup kemungkinan perbedaan itu menjadi pemicu terjadinga cekcok /pertengkaran dalam keluarga.
Menurut Qurais Shihab, perkawinan merupakan pertemuan “dua aku/pribadi” yang masing-masing membawa karakter, sifat dan pembawaan yang berbeda. Bila “dua aku” tadi tidak sering berdialog/berkomunikasi tentang perbedaaan yang ada, maka rumah tangga tersebut akan senantiasa berada di tepi jurang kehancuran. Dengan adanya dialog yang berkesinambungan, diharapkan akan terjadi sikap saling menghormati, empati, toleransi dan menghargai satu sama lainnya .

5. Saling memaafkan .
Manusia tidak ada yang sempurna, pasti memiliki dosa dan kekurangan. Semakin dicari, akan semakin nampak dan semakin banyak kekurangan yang ditemukan. Dalam rangka membentuk keluarga ”asmara”, hendaknya setiap pasangan melihat kelebihan pasangannya. Ini diharapkan mampu menumbuhkan perasaan bangga, hormat dan sayang kepada pasangannya. Adapun kekurangan yang ada, maka hendaknya kekurangan itu dijadikan ladang amal untuk saling memperbaiki diri, saling koreksi satu sama lain guna melahirkan kualitas keluarga dan pribadi yang lebih baik .
Sebetulnya masih banyak yang harus dilakukan oleh pasutri (pasangan suami-istri) dalam rangka mewujudkan keluarga “asmara”, tidak hanya terbatas pada lima kiat di atas. Oleh karena itu setiap keluarga perlu mengembangkan wawasan rumah tangganya dengan membaca buku-buku lain yang terkait dengan pembentukan keluarga “asmara“. Namun setidaknya apabila kelima hal tersebut dilakukan, paling tidak harapan terwujudnya keluarga “asmara” bisa dicapai .

Sebagai penutup artikel ini, disampaikan tolok ukur kebahagiaan suatu keluarga menurut Quraish Shihab (2007), adalah sebagai berikut :


1. Bila isi hati terdalam masing-masing pasangan berucap, “Aku ingin hidup denganmu sampai akhir hidupku, bahkan setelah kematianku. Ini karena aku tidak mampu, bahkan tidak ingin mengenal orang lain sebagai teman hidup kecuali kamu.”
2. Bila masing-masing pasangan ingin agar pasangannya selalu ikut bersamanya dalam suka dan duka, betapapun kecilnya suka dan duka itu. 
3. Bila dari hari ke hari bertambah kenangan-kenangan indah dalam hidup mereka serta selalu ingin memberi dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada.
4. Bila salah satu pasangan memberi, maka ia merasa bahwa pada saat yang sama iapun menerima, tak ubahnya saling merangkul, berjabat tangan atau mencium bibir suami/istri .
5. Bila saat tidur sepembaringan dengan pasangan, masing-masing merasakan ketenangan sebelum kegembiraan, damai sebelum kesenangan, dan kebahagiaan sebelum kelezatan, dan itu berlanjut sampai berlalunya kelezatan itu . 

Tentu saja kelima faktor di atas tidak akan terwujud tanpa peranan maksimal dari masing-masing pasangan jiwa yang menyakini bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral .

Semoga kita bisa mewujudkannya. Amin.














Post a Comment

0 Comments