Oleh: Muh. S. Darwis
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ،
وَنَعُوذُ بِاللهِ تَعَالَى مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلْيَخْشَ
الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَةً ضِعَافًا. (النساء: 9).
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ. وَأَحْيِنَا اَللَّهُمَّ عَلَى سُنَّتِهِ وَأَمِتْنَا عَلَى
مِلَّتِهِ. وَبَعْدُ؛
Jamaah jama'ah rahimakumullah
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan
dicintainya.
Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang
terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan
mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa.
Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا
الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya: “Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian dihari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi masalah adalah kemana anak akan kita
arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua menginginkan agar kelak
anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar setelah dewasa mereka dapat
membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan
dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha
adalah hayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua akibat pandangan yang keliru
menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film (Artis),
bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua
kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal
itu. Padahal dibalik itu semua mereka kering akan informasi tentang perihal
kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang
tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan diberbagai
media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka
lihat selama ini.
Jamaah jum’at rahimakumullah
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih
seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan
mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya
hidup yang serba glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita
saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka
diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya
menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh
masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan
anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia
di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah
Subhannahu wa Ta'ala
berfirman:
artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah
fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua
yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan
keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan
yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat
ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua
hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin .
(Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang
rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka
yang dibawah garis kemiskinan.
Banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari segi
intelektual, fisik dan ekonomi semata dan mengabaikan perkembangan iman. Orang
tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan
anak-anaknya dapat terpenuhi, sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada
TK-TP Al-Qur’an terasa begitu enggan. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan
pokok yang bersifat mendasar bagi anak.
Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka
dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya kearah
tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai contoh: Ada orang tua
yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah melaksanakan
usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana kearah tercapainya
tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun dalam usahanya
memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah hati,
padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh dalam segi
pemenuhan otaknya.
Jamaah jum’at rahimakumullah.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan
langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam
melahirkan anak yang shalih. Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa
langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih
tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا
مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya
kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih
yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih
adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama
mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari
kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan
perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya.
Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil
ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari
perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya.
Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh
dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua
orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak
yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua
orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan
kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan
amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa
Ta'ala.
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat
kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu
mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya
anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan
aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa
pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan
yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian
dan karakternya.
Jama'ah jum’at rahimakumullah
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka
kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya
jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas
kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang
mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah
(Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita
mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan
terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya
Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan
lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal
setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi
anak yang shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat
menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi
dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai
dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan
mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya.
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya
yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin
mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam
membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling
mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga
mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan
memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di
rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang
negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak dan
karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam
mendidik dan mengarahkan setiap anak didik.
Sekolah yang ditata dengan managemen yang baik tentu akan
lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang
tidak memperhatikan sistem managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk
kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang
berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam pengertian intelektual dan moral
keagamaan.
Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar serta
kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan dalam
melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat
dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus
memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual
dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah
tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu
menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang
memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih mampu
memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang
kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah
watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat
mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam masyarakat seperti
ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan
ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan
patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya, dapat saja
tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya. Oleh karena itu
untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik dalam
institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan
lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak.
Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan individu-individu
yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat
yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama.
Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat. Mereka beranggapan
bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i,
pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ,
bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
(رواه مسلم).
Artinya: “Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan
lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam
hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan
merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa
putra dan putri kita. Padahal kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang
dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya dapat tercapai jika
setiap individu muslim secara konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar,
karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...”
(Ali Imran: 110).
Jamaah jum’at rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing yang harus
dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti akan
menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong
orang-orang yang rugi Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di akhir khutbah ini marilah kita bersama-sama
merasa peduli terhadap kelangsungan hidup generasi kita, semoga dengan
kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala akan senantiasa menurunkan
pertolonganNya kepada kita dan memenangkan Islam di atas agama-agama lainnya.
Marilah kita berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .
رَبِّ
اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ
دُعَاءَ. رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ
يَقُوْمُ الْحِسَابُ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ.
Khutbah kedua.
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
0 Comments